Blogger Templates

Senin, 29 Oktober 2012

Ilmu Sosial Dasar




LOKAL


Konflik Kekerasan Sosial di Papua

       Konflik kekerasan di Papua pada umumnya disebabkan adanya kondisi sosial yang timpang antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat migran yang datang dari luar Papua, sebagai akibat dari adanya kekeliruan kebijakan pembangunan di Papua yang berlangsung lama, sebagai berikut:
a. Terjadinya Eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA)
Eksploitasi SDA telah menampilkan suatu ketidakadilan, berdasar fakta-fakta masyarakat Papua, pemegang hak adat atas SDA tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, padahal semua konsekuensi negatif pasti dipikul oleh mereka bukan oleh pengambil keputusan. SDA merupakan sumber penghidupan utama bagi mereka dengan batas-batas pemilikan, pengakuan, dan penghargaan yang jelas dan tegas di antara para pemegang hak adat. Akibatnya, masyarakat menjadi penonton dan terasing di tanahnya sendiri. Masyarakat Papua sebagai komunitas lokal tidak dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, karena memang tidak dipersiapkan, dilatih, dan diberi kesempatan.
Sebagai contoh: Kasus pengalihan hak atas tanah untuk keperluan transmigrasi telah mengurangi bahkan menghilangkan sumber-sumber ekonomi keluarga. Masyarakat kehilangan binatang buruan sebagai sumber protein, kayu untuk bangunan, kayu api, rusaknya ekosistem lokal sebagai sumber protein yang mendukung kehidupan masyarakat lokal, hilangnya sagu sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat. Eksploitasi tambang juga memberi dampak negatif yang besar buat penduduk lokal. Sebagai contoh: kasus Freeport, limbah tailing, telah mencemari sumber-sumber ekonomi seperti Moluska, sumber protein masyarakat Kamoro-Sempan di Omawita.
b. Dominasi Migran di Berbagai Bidang-Bidang Kehidupan
Perlakuan yang kurang tepat terhadap masyarakat Papua juga terjadi dalam bidang pemerintahan, dan proses-proses politik. Sadar atau tidak, selama pemerintahan Orde Baru, orang Papua kurang diberikan peran dalam bidang pemerintahan. Posisi-posisi utama selalu diberikan kepada orang luar dengan dalih orang Papua belum mampu. Walaupun untuk sebagian peran, dalih itu mungkin ada benarnya, tetapi pada umumnya untuk mencekal orang Papua. Seleksi ketat yang dikenakan terhadap orang Papua dilatarbelakangi oleh kecurigaan dan tuduhan terhadap semua orang Papua sebagai OPM.
         Dominasi masyarakat pendatang bukan hanya pada sektor pemerintahan saja, tetapi juga pada sektor swasta. Pada kegiatan di sektor industri manufaktur yang memanfaatkan eksploitasi sumber daya alam (SDA) sebagai bahan baku lebih banyak menggunakan tenaga kerja dari luar, seperti antara lain pabrik Plywood PT. Wapoga, Pabrik Pengalengan Ikan di Biak dan pabrik Pengalengan Ikan PT. Usaha Mina di Sorong. Sektor perbankan juga didominasi oleh pekerja dari kaum pendatang.
c. Penyeragaman Identitas Budaya dan Pemerintahan Lokal
Secara singkat, pengembangan SDM justru tidak berpijak pada pengetahuan dan kearifan lokal. Menyadari ancaman terhadap eksistensi orang Papua, tokoh seperti Arnold Ap berusaha untuk menggali dan mengembangkan unsur-unsur budaya lokal. Tetapi, kelihatannya penguasa melalui aparat militer melihatnya secara sempit dan dipahami sebagai ancaman. Arnold Ap dibunuh dengan cara yang melukai hati orang Papua khususnya dan kemanusiaan pada umumnya. Dominasi dan penindasan tersebut, menjadikan identitas dan nasionalisme Papua makin mantap menopang tuntutan Papua Merdeka.
d. Tindakan Represif oleh Militer
Penindasan militer di tanah Papua meliputi beberapa bentuk, antara lain intimidasi, teror, penyiksaan, dan pembunuhan. Intimidasi, teror dan penyiksaan dilakukan berkenaan dengan pengambilalihan hak-hak adat masyarakat Papua atas SDA secara paksa untuk berbagai keperluan, seperti HPH, transmigrasi, pertambangan, dan industri manufaktur maupun jasa wisata. Ketika penduduk asli berusaha mempertahankan hak-haknya atas SDA mereka diintimidasi dan diteror.
Penyebab lainnya adalah:
          Konflik Papua memiliki satu hal unik, yang membedakannya dengan konflik-konflik lokal lain di Indonesia. Keunikan ini adalah adanya nasionalisme Papua yang telah tertanam di dalam diri rakyat Papua selama puluhan tahun. Rasa nasionalisme tersebutlah yang mendorong rakyat Papua membenci adanya penjajahan terhadap mereka, baik yang dilakukan Belanda maupun Indonesia.
Nasionalisme Papua yang mulai ditanamkan oleh Belanda ketika didirikan sekolah pamong praja di Holandia, tertanam serta tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Ketika Belanda dan Indonesia bukanlah pihak yang diharapkan, rakyat Papua melihat keduanya sebagai bangsa yang hendak menguasai Papua. Pemikiran ini yang menyebabkan gerakan anti-Indonesia sangat kuat dan mudah meluas di Papua. Kebijakan represif pada masa Orde Baru tidak mampu memadamkan nasionalisme ini, namun justru memperkuatnya.
2. Sejarah Konflik Papua
1960 - 2000
1966-67: pemboman udara Pegunungan Arfak
1967: Operasi Tumpas (penghapusan operasi). 1.500 diduga tewas di Ayamaru, Teminabuan dan Inanuatan.
Mei 1970: Pembantaian perempuan dan anak-anak oleh tentara Indonesia. Saksi melaporkan melihat seorang wanita memusnahkan, membedah bayinya di tempat dan pak bibi bayi-diperkosa.
Jun 1971: Bapak Henk de Mari melaporkan bahwa 55 orang dari dua desa di Biak Utara dipaksa untuk menggali kuburan mereka sendiri sebelum ditembak
Mei 1978: Lima OPM (Organisasi Papua Merdeka) pemimpin menyerah untuk menyelamatkan desa mereka tertangkap masuk Mereka dipukuli sampai mati dengan batang besi panas merah dan tubuh mereka dilemparkan ke dalam lubang jamban. 125 penduduk desa maka mesin ditembak sebagai simpatisan OPM dicurigai.
pertengahan 1985: 2.500 tewas di wilayah Kabupaten Paniai Danau Wissel, termasuk 115 dari desa-desa Iwandoga dan Kugapa dibantai oleh pasukan 24/6/1985, 10 orang, desa, taman makanan, dan ternak desa Epomani, Obano Sub-distrik; 15 orang, desa, dan ternak dari kabupaten desa Ikopo Monemane, dan 517 orang, 12 desa, taman makanan, dan hidup-stok Monemane. Dsb.
2000 - 2010
Pada tanggal 31 Agustus 2002: pemberontak menyerang pada sekelompok profesor dari Amerika Serikat. 3 tewas dan 12 lainnya luka-luka. Polisi menuduh OPM bertanggung jawab.
Pada tanggal 1 Desember 2003: Sekelompok 500 orang mengibarkan bendera separatis, beberapa tindakan lain telah terjadi 42 orang ditangkap.
Pada tanggal 9 April 2009: Sebuah serangan bom di Jayapura menewaskan 5 orang dan beberapa orang terluka. Sementara itu, sekitar 500 militan menyerang sebuah pos polisi dengan busur dan anak panah dan bom bensin.. Polisi bereaksi dan membunuh seseorang.
Pada 24 Januari 2010: Pemberontak menyergap sebuah konvoi penambang PT Freeport McMoran. Sembilan orang terluka, OPM menyangkal Tanggung Jawab.
3. Dampak dari konflik Papua
        Di Papua, masalah separatisme akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Bila situasi keamanan terus memburuk, banyak pengamat yang memperkirakan Papua bakal lepas dari NKRI. Tanda-tanda Papua akan segera lepas dari NKRI sudah sangat jelas. Mereka saat ini ditengarai sudah memiliki sponsor yang siap mendukung kemerdekaan wilayah di timur Indonesia ini, bahkan Papua saat ini sudah sangat siap untuk lepas dari Indonesia.
Maraknya aksi penembakan dan penghadangan oleh kelompok separatis Papua telah meresahkan masyarakat Papua. Sasaran tembak kini tidak hanya kepada aparat TNI dan Polisi, namun masyarakat umum serta karyawan Freeport kini dijadikan target. Sehingga tak mengherankan bila hampir tiap hari terjadi penghadangan dan penembakan oleh orang tak dikenal yang diyakini banyak orang adalah separatis Papua. Penyebab separatisme Papua yang lain adalah tidak meratanya distribusi sumber daya ekonomi, sehingga meskipun Papua memiliki kekayaan yang luarbiasa, rakyatnya tetap miskin. Tambang tembaga raksasa Freeport adalah sebuah contoh bagaimana kapitalisme mengeksploitasi sumber daya lokal dengan sepuas-puasnya. Potensi konflik antar agama di Papua tinggi karena konflik yang bertikai menganggap dirinya sebagai korban. Warga Papua asli merasa terancam dengan mengalir masuknya pendatang baru yang mengatasnamakan agama baru, dimana dalam jangka panjang mereka akan menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran. Meskipun ada keretakan dan perpecahan yang signifikan di kedua belah pihak masyarakat, terutama mengenai nasionalisme yang bersaing perkembangan di Manokwari dan Kaimana mungkin menjadi pertanda lebih banyak bentrokan yang akan terjadi. Perubahan dalam demografi adalah bagian dari persoalan, tapi bahkan kalau besok para pendatang dari luar Papua disetop datang, polarisasi antar agama mungkin akan terus berlanjut karena perkembangan lain. Warga Papua sangat menyadari terjadinya penyerangan-penyerangan terhadap tempat-tempat ibadah di daerah lain di Indonesia dan melihat Indonesia secara keseluruhan bergerak menuju dukungan yang lebih banyak kepada ajaran agama.
4. Upaya Penyelesaian Konflik di Papua
Hasil eksplorasi terdapat 2 kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia, yaitu:
a) Pendekatan Kekerasan
Pendekatan kekerasan dilakukan dengan menggunakan kekuatan senjata atau sering dikenal dengan istilah pendekatan keamanan dilakukan oleh militer atau ABRI untuk menumpas setiap bentuk perlawanan masyarakat yang dianggap sebagai pemberontakan OPM di Papua yang dimulai sejak awal pemberontakan tahun 1970 sampai sekitar tahun 1996. Kegiatan itu dilakukan dengan menetapkan sebagian kawasan Papua, terutama di daerah perbatasan dengan Negara Papua New Guinea, sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
b) Pendekatan Non kekerasan
Sejak Papua masuk dalam wilayah Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963, maka kegiatan utama yang menjadi tugas pokok dari semua petugas Indonesia Papua menggantikan posisi petugas Belanda adalah “meng-Indonesiakan” orang-orang Papua. Aktivitas ini dilakukan oleh lembaga pemerintah seperti lembaga pendidikan dan lembaga penerangan. Tema yang digunakan adalah menyatakan bahwa Indonesia, termasuk Papua dijajah oleh Belanda selama lebih dari 350 tahun. Masa penjajahan itu membuat rakyat Papua seperti halnya rakyat Indonesia lainnya, miskin, tertindas, dan melarat.
Akan tetapi dalam kenyataannya kedua kebijakan pemerintah dalam upaya menyelesaikan konflik kekerasan yang terjadi di Papua tersebut berjalan tidak efektif atau tidak berhasil. Untuk itu ada beberapa-beberapa hal yang seyogiyanya dilakukan oleh pemerintah:
1. Hindari untuk mendukung kegiatan-kegiatan berbasis agama yang jelas-jelas memiliki agenda politik, sehingga tidak memperburuk persoalan yang sudah ada, dan menginstruksikan TNI dan Polri untuk memastikan bahwa para personil yang bertugas di Papua tidak dilihat berpihak kepada salah satu pihak.
2. Mengidentifikasi pendekatan-pendekatan baru untuk menangani ketegangan antar agama di tingkat akar rumput, lebih dari sekedar kampanye dialog antar agama diantara para elit yang seringkali tidak efektif.
3. Memastikan bahwa pendanaan atau sumbangan keuangan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan agama dilakukan secara transparan dan diaudit secara independen, dimana informasi mengenai jumlah dan para penerima dana bisa dilihat dengan mudah di situs-situs atau di dokumen publik.
4. Menghindari mendanai kelompok-kelompok yang menyerukan eksklusivitas atau permusuhan terhadap agama lain.
5. Memastikan debat publik mengenai persentase lapangan kerja bagi warga asli Papua dan dan dampak lebih jauh dari imigrasi penduduk dari luar Papua ke Papua sebelum menyetujui pembagian daerah administratif lebih lanjut.
6. Menolak peraturan daerah yang diskriminatif dan menghapus kebijakan-kebijakan yang memarjinalisasikan orang papua.
7. Ketujuh, Pemerintah harus memenuhi dan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar orang papua seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraaan dan pelayanan publik.
8. Pemerintah memfasilitasi dialog antar ummat beragama bersama rakyat Papua agar terciptanya saling percaya antara Pemerintah Pusat dan Warga Papua. Kesembilan, Pemerintah harus mengakui secara jujur bahwa selama ini bertindak dengan salah dalam mengatasi konflik yang ada di Papua demi terciptanya rekonsiliasi.
Secara teoritis, dikenal 3 sarana upaya penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Konsiliasi, umumnya dilakukan melalui lembaga legislatif atau parlemen yang bermaksud memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terlibat konflik untuk berdiskusi atau memperdebatkan secara terbuka masalah yang terjadi dalam konteks mencapai kesepakatan atau kompromi bersama. Kedua, Mediasi mengajak atau mendorong kepada para pihak yang terlibat untuk kesepakatan melalui nasihat dari pihak ketiga yang disetujui. serta Ketiga, Arbitran, para pihak yang terlibat bersepakat untuk mendapatkan menunjuk wasit penilai untuk memberikan keputusan yang bersifat legal sebagai jalan keluar dari konflik.
Jika dilihat dari aspek substansi, terdapat 4 cara atau pendekatan yang sering ditempuh oleh para pihak dalam proses penyelesaian konflik, yaitu: Pertama, Penghindaran, yaitu penyelesaian yang diharapkan timbul dengan sendirinya. Kedua, Kekuasaan. yaitu penyelesaian melalui cara paksa atau dengan penggunaan kekuatan bersenjata oleh institusi militer. Ketiga, Hukum, yaitu penyelesaian konflik melalui proses arbritase, pencarian fakta yang mengikat, proses legislasi, dan pembuatan kebijakan pejabat publik, serta Keempat, kesepakatan, yaitu penyelesaian oleh para pihak melalui proses negosiasi, mediasi, dan konsiliasi.
5. Bentuk konflik di Papua
1. Konflik kelas social, karena konflik yang terjadi di Papua salah satunya terjadi akibat adanya kesenjangan social dan budaya yang ada di masyarakat Papua
2. Konflik Rasial. Paling banyak penyebab konflik di Papua adalah karena terjadinya salah paham atau penghasutan antar suku yang ada di daerah Papua
3. Konflik politik, konflik Papua salah satunya terjadi karena menyangkut dengan diskriminasi atau penggolongan-penggolongan antara rakyat biasa yang ada di Papua dengan imigran-imigran serta pejabat-pejabat pemerintah dan juga kaum elit politik.
6. Argumentasi Terhadap Konflik Papua
Dari semua referensi dan catatan-catatan tentang masalah-masalah konflik yang terjadi di Tanah Papua dahulu hingga sekarang ini, kami dapat memahami latar belakang serta faktor penyebab terjadinya berbagai konflik kekerasan di tanah Papua. Umumnya kekerasan di Papua terkait dengan konflik antar warga dengan suku, separatisme, dan kriminalitas. Proses dan hasil pembangunan di Papua selama otonomi khusus belum dirasakan sepenuhnya oleh orang asli Papua, terutama di wilayah pedalaman. Sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan dan terpinggirkan. Bahkan kondisi pembangunan Papua masih kalah jauh dengan kota-kota kelas dua di wilayah Pulau Jawa.Warga Papua merasa tidak dihargai dan diabaikan.
       Selain itu, minimnya sarana dan prasarana publik di daerah-daerah di Papua dan Papua Barat, kelaparan dan kondisi kurang gizi di daerah-daerah di Papua, serta rendahnya tingkat pendidikan di wilayah Indonesia bagian timur itu merupakan faktor-faktor yang berpotensi menimbulkan konflik.
Tetapi di sisi lain penyebab konflik di Papua, OPM dan sejenisnya adalah sebagai salah satu penyebab konflik tsb. Tujuan mereka dalah menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat dan daerah serta pihak internasional bahwa Papua selalu tidak aman karena adanya OPM, ini jelas-jelas bertujuan menggagalkan ide dan keinginan luhur orang asli Papua untuk berdialog atau berdiskusi dengan pemerintah Indonesia dalam waktu dekat.
Selain itu, banyaknya peristiwa kekrasan dan konflik yang ada di Papua menandakan bahwa institusi kepolisian yang ada di Tanah Papua beserta jajaran Polres-nya di seluruh tanah papua seringkali tidak mampu mengungkapkan kasus-kasus kekerasan bersenjata yang terjadi di Papua tersebut. Di tambah lagi polisi di daerah ini susah sekali mendapatkan barang bukti yang bisa menjadi petunjuk penting dalam mengungkapkan sebab dan siapa pelaku dari setiap kasus tersebut.
Selama kesenjangan itu terjadi, maka akan semakin banyak konflik yang akan tetap membakar masyarakat di Papua. Apapun kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak akan benar-benar memadamkan konflik yang terjadi. Justru sebaliknya, menurut kami masyarakat akan menilai kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut adalah sebagai akal-akalan mereka saja.
Untuk itu, kami harap sebaiknya hal ini mendorong pemerintah maupun pihak-pihak yang terkait lainnya untuk mengupayakan solusi yang komprehensif dengan melakukan pembangunan secara intensif dan berkesinambungan di tanah Papua tersebut, kondisi ini bisa dijaga oleh pemerintah setempat dan pemangku kepentingan dengan cara bersinergi atau berkomunikasi dengan cukup baik. Dengan cara seperti itu kami yakin sedikit demi sedikit konflik yang ada di bumi cendrawasih tersebut akan memudar, bahkan mungkin masyarakat akan merasakan kmakmuran perhatian dari pemerintah terhadap tempat tinggalnya.
Kami harap pemerintah dapat melaksanakan atau merealisasikan apa yang menjadi angan-angan dari kita semua khusunya kami, mengenai konflik yang terus menerus terjadi di Papua.
Menyelesaikan Permasalahan Konflik

STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK

     Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan penyelesaian konflik ialah :
1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi dikenal dengan istilah win-lose orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem (problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan kepentingan kelompok lain.


Sumber:

http://blog.komputerbutut.com/campuran/menyelesaikan-permasalahan-konflik-sosial.php

http://aiirm59.blogspot.com/2012/05/konflik-papua.html

Ilmu Sosial Dasar

REGIONAL

Kerja Sama Perdagangan Regional

         Menurut Dwisaputra, kerja sama perdagangan regional adalah perjanjian antara dua negara atau lebih untuk bertujuan mengurangi hambatan dalam perdagangan atas dasar resiprokal atau preferensi. Proses liberalisasi perdagnagn tidak dapat disangkal, membuat kerjasama perdagangan internasional meningkat tajam, dan termasuk dalam lingkup regional dalam dekade terakhir. Namun di sisi lain, banyak pendapat mengatakan bahwa hal ini juga sebagai akibat dari proses liberalisasi perdagangan multilateral yang dinilai gagal, terbukti dari kegagalan WTO 1999 dan putaran Doha 2006. Jika merujuk pada data dari WTO, semakin banyak negara di dunia yang turut serta dalam kerja sama perdagangan regional. 
        Awalnya, Proses regionalisasi dalam kerja sama perdagangan diawali dari pembentukan GATT yang menurut banyak pihak justru merugikan negara-negara yang tidak tergabung dalam salah satu blok perdagangan yang ada. Terlebih ketika tahun-tahun selanjutnya terjadi penurunan harga minyak dan terjadinya global imbalances, kecenderungan proteksionisme di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. (Dwisaputra, pg.3). Sebagai respon atas hal tersebut, disepakati diadakannya perundingan yang disebut sebagai putaran Uruguay yang melahirkan WTO pada tahun 1995 dan banyak diikuti oleh negara berkembang, namun menurut Dwisaputra, pengaruh negara maju sangat kuat sehingga membentuk beberapa pengecualian. “Semula pengecualian itu dilakukan untuk mengakomodir kepentingan ekonomi negara maju maupun berkembang dengan tidak secara drastis beralih ke prinsip MFN dan fair trade practice, namun dalam perkembangannya masih terdapat pertentangan dengan prinsip yang dimaksud” (Dwisaputra, pg.8).
Beberapa faktor yang menjadi motif adanya pembentukan kerja sama regional, antara lain (Dwisaputra, pg.9-13); (1) Membangun rasa aman baik secara ekonomis maupun poloitis di antara negara yang berdekatan, menurut saya rasa aman inilah yang akan meminimalisasi pengecualian-pengecualian tertentu dalam sebuah kerja sama. (2) Mengelola friksi perdagangan; (3) Peningkatan kapasitas untuk pembangunan; (4) Batu loncatan untuk liberalisasi multilateral, dalam poin ini, saya menegaskan bahwa beberapa pihak memang berpendapat demikian, namun ada pula yang menilai bahwa regionalisasi muncul akibat gagalnya liberalisasi multilateral, sehingga justru membuat liberalisasi multilateral semakin sulit terjadi dan kehilangan pamornya; (5) Kebijakan menjamin diplomasi perdagangan; (6) The Copycat Syndrome; (7) Persaingan untuk mendapatkan penanaman modal asing.
Salah satu contoh kerja sama regional sendiri adalah ASEAN. Terdapat 4 bidang kerjasama dalam ASEAN, yaitu: kerja sama dalam bidang politik dan keamanan (ZOPFAN); kerja sama ekonomi, meliputi sektor perindustrian, perdagangan, dan investasi; kerja sama fungsional ASEAN, meliputi kerja sama kebudayaan dan pendidikan; kerja sama bidang pembangunan dan pengentasan kemiskinan; kerja sama ketenaga-kerjaan, teknologi, lingkungan hidup dan sebagainya; Kerja sama ASEAN dengan mitra wicara.
Berikut ini akan diberikan contoh beberapa kerja sama regional di kawasan Asia Tenggara, terutama yang berbasis perdagangan (dan investasi):
ASEAN prefential trade agreement (PTA)
Bentuk PTA ini diwujudkan bertujuan meningkatkan perdagangan intra kawasan antara lain melalui pertukaran tarif preferensi, hal ini dilatarbelakangi volume perdagangan intra-ASEAN yang masih sangat rendah. Peningkatan perdagangan tersebut dilakukan melalui beberapa tindakan, semacam pengurangan tarif melalui pemberian preferensi, mendukung kredit ekspor menggunakan suku bunga preferensi, kontrak kualitas jangka panjang, prefential procurement dari instansi pemerintahan, dan pembebasan hambatan non tarif.
ASEAN Free Trade Area (AFTA)
Pembentukan AFTA di tahun 1992 ini bertujuan meningkatkan kerja sama guna mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang berkesinambungan bagi semua negara anggota ASEAN. Pertumbuhan dan pembangunan ini diharap membuahkan pencapaian stabilitas dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, jika diamati lebih lanjut, tujuan strategis AFTA adalah meningkatkan competitive advantage. Pengurangan tarif dan nontarif antara negara-negara ASEAN diharap akan menciptakan efisiensi ekonomi sebagai stimulus untuk peningkatan produktifitas dan daya saing.
ASEAN Investement Area (AIA)
Kerja sama yang dibentuk pada tanggal 7 oktober 1998 ini, bertujuan menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang kompetitif dan kondusif dalam berinvestasi, hal ini dicapai melalui penerapan kebijakan seperti kerja sama investasi yang terkoordinasi dan program fasilitasi, yang membuka seluruh sektor untuk PMA (kecuali beberapa sektor yang ditetapkan dalam Temporary dan Sensitive list). Minimalisasi hambatan investasi secara langsung akan berdampak pada mudahnya lalulintas modal, tenaga profesional dan teknologi yang mendukung adanya kerja sama yang semakin menguntungkan. (Dwisaputra)
ASEAN + 3
China, Jepang, dan korea selatan adalah beberapa negara di Asia mulai menunjukkan ‘gigi taringnya’. Perlahan tapi pasti kekuatan perekonomian mereka diperhitungkan dalam skala global keseluruhan. ASEAN melihat peluang yang menjanjikan, karena itu ASEAN + 3 terbentuk dan akhirnya mengalami perkembangan yang signifikan. Terdapat dua kerja sama yang sudah berjalan, ASEAN - Japan, Comprehensive Economic Partnership & ASEAN - China Comprehensive Economic Cooperation. Melalui kerja sama ini, diharapkan negara-negara ASEAN dapat juga menunjukkan eksistensi dirinya dalam dunia internasional. Namun menurut saya, di sisi lain patut dipertimbangkan dampak lebih lanjut, seperti sektor domestik yang justru terancam, salah satunya dengan banjirnya barang ‘made in China’, dan ‘dipermanja’ oleh teknologi maju dari Jepang, dikhawatirkan membuat negara-nega ASEN justru bergantung dan enggan untuk maju melalui usaha sendiri.
  • Kesimpulan dan Opini
      Kerjasama perdagangan regional dapat dinilai sebagai stepping stone bagi kerja sama multilateral yang lebih luas, dan di sisi lain justru dianggap sebagai penghambat kerjasama multilateral, namun terlepas dari semuanya itu, kerja sama regional memang terbktui lebih ampuh dalam masalah meminimalisasi kecurangan serta pengecualian secara khusus. Namun sebagai negara berkembang, negara di Asia tenggara, harus lebih kritis lagi saat hendak membuka diri untuk suatu kerjasama internasional yang lebih luas.

Sumber:
http://moze91.wordpress.com/2011/04/21/kerjasama-perdagangan-regional/
http://buahpikir-claudya-fisip09.web.unair.ac.id/artikel_detail-42907-economic%20world-KERJASAMA%20PERDAGANGAN%20REGIONAL.html

Ilmu Sosial Dasar

Tulisan Ilmu Sosial Dasar

2. NASIONAL

Dinamika Masalah Kebijakkan Paradigma Pembangunan Nasional

      Kata paradigma berasal dari Yunani, semula lebih merupakan istilah ilmiah dan sekarang lebih lazim digunakan dengan arti model, teori dasar, persepsi, asumsi atau kerangka acuan. Dalam bahasa sehari-hari paradigma juga disebut sebagai “cara kita memandang dunia”, bukan dalam arti visual tetapi lebih dalam arti mempersepsi, mengerti atau menafsirkan (Stephen R Covey. 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif)
Lebih lanjut “paradigma” adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang sebagai titik tolak pandangan seseorang. Konsekwensinya paradigma ini juga akan membentuk citra subyektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan bagaimana seseorang menanggapi realita. Pembangunan adalah sebuah proses multi-dimensi yang mencakup berbagai perubahan mendasar pada struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi-institusi pemerintah. Salah satu tema sentral perubahan adalah meyangkut pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Namun, akhir-akhir ini pembangunan mulai diterjemahkan secara lebih holistik. Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses perubahan sosial dengan adanya partisipasi masyarakat secara luas yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material. Selama ini, paradigma dalam pembangunan biasanya identik dengan kewenangan pemerintah yang besar dan rendahnya peran serta masyakarat. Paradigman seperti ini telah menimbulkan kekecewaan dalam masyarakat ketika pemerintah tidak mampu memberikan yang terbaik dan tidak dapat mewujudkan tujuan pembanguan secara maksimal. Ketika paradigma pembangunan alternatif muncul, pembangunan tidak hanya menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah semata, namun juga harus menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam proses pelaksanaan pembangunan. Artinya, pemerintah tidak lagi sebagai provider dan pelaksana, melainkan lebih berperan sebagai fasilitator dan katalisator dari dinamika pembangunan. Dengan paradigma ini, seluruh proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan diharapkan melibatkan masyarakat. Salah satu wujud “partisipasi” masyarakat dalam pembangunan adalah lewat mekanisme Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan). 


      Musrenbang adalah suatu forum masyarakat untuk perencanaan pembangunan yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah, baik pemerintah desa/gampong, kecamatan, pemerintah kota/kabupaten, pemerintah provinsi, dan pemerintah nasional bekerjasama dengan warga dan para pemangku kepentingan.5 Proses pembangunan yang melibatkan peran serta warga masyarakat ini sering juga disebut dengan proses pembangunan partisipatif. Disamping proses partisipatif ini, proses perencanaan pembangunan juga melibatkan proses politis dan teknokratis.
        Menurut Nurcholis pembangunan partisipatif adalah “suatu model pembangunan yang mengikutsertakan masyarakat, dimana masyarakat secara aktif melibatkan diri; baik dimulai dari perencanaan, perumusan, pemecahan masalah dalam pembangunan, dan evaluasi serta melakukan monitoring dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan”.
      Model pembangunan yang melibatkan partisipasi masyarakat ini telah ditetapkan dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 66 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Desa. Dalam pasal 2 Permendagri No.66 tahun 2007 tersebut dinyatakan bahwa; (1) “Perencanaan Pembangunan Desa disusun dalam 5 (lima) tahun, (2) Perencanaan pembangunan 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan RPJM-Desa. (3) RPJM-Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat arah kebijakan keuangan desa, strategi pembangunan desa, dan program kerja desa”
Ketentuan dan kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam peraturan tersebut dapat mendorong keterlibatan warga masyarakat dalam melakukan perencanaan pembangunan. Diharapkan, dengan adanya keterlibatan warga masyarakat ini akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap kegiatan pembangunan tersebut. Adanya rasa memiliki ini, pada gilirannya diharapkan akan mendorong masyarakat untuk ikut menjaga dan memelihara manfaat pembangunan secara berkelanjutan. 
      Selama ini kegiatan Musrenbang, baik pada tingkat desa/gampong, kecamatan, kota/kabupaten, provinsi maupun nasional masih dianggap hanya sebatas kegiatan seremonial belaka, kurang partisipatif, bahkan dianggap tidak demokratis. Karena itu, ruang partisipasi yang telah disediakan dengan legislasi yang cukup jelas ini belum banyak dimanfaatkan warga negara. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh seorang penulis dan aktivis komunitas: “Kegiatan Musrenbang sebagai ruang partisipasi publik yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh para pihak yang berkepentingan dalam pembangunan”.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh LGSP-USAID juga menemukan beberapa faktor yang menyebabkan kegiatan Musrenbang kurang efektif, antara lain: Pertama, lemahnya pemahaman kerangka peraturan (regulatory framework) dari perencanaan dan penganggaran. Kedua, kurangya kerangka peraturan pada tingkat daerah (provinsi dan kabupaten/kota), apalagi pada tingkat kecamatan, dan gampong. Ketiga, lemahnya kapasitas staf pemerintah dalam penyiapan dokumen perencanaan pembangunan. Keempat, lemahnya kapasitas staf dalam mengelola perencanaan partisipatif. Kelima, lemahnya keterlibatan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dalam proses perencanaan. 
       Di sisi lain, mekanisme perencanaan dari bawah masih dianggap tidak lebih sebagai mata rantai birokrasi yang membuat desa/gampong tergantung secara sistemik pada kabupaten/ kota. Secara empirik maupun formal, gampong bukanlah wilayah pembangunan otonom yang menerima desentralisasi politik, pembangunan dan keuangan. Pemerintah pusat dianggap masih “berat hati” untuk membangun dengan pola local self-planning di desa/ gampong. Misalnya, PP 72/2005 Pasal 63 menempatkan perencanaan gampong/desa sebagai satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan daerah kabupaten/kota. Hal ini menimbulkan kegamangan, karena ketidakjelasan, mana ruang lingkup kewenangan gampong/desa dan mana yang menjadi kewenangan kabupaten.
Pergeseran Paradigma Pembangunan

Secara singkat dan sederhana terjadinya pergeseran paradigma global didunia ini dapat diuraikan sebagai berikut di bawah ini

1. Paradigma Ekonomi

Paradigma ekonomi merupakan yang paling tua dan paling dominan dalam menentukan pembangunan. Hal ini disebabkan oleh pengertian ekonomi itu sendiri sebagai “mengatur rumah tangga sendiri” yang dapat dipahami sebagai upaya mengatur kesejahteraan keluarga, komunitas dan bangsa dalam skala yang lebih luas. Pada awalnya ( ekonomi klasik) paradigma ini menekankan pertumbuhan dan melihat pembangunan sebagai pembangunan ekonomi (development=economic development) sehingga ukuran keberhasilan pembangunan adalah pertumbuhan produksi barang dan jasa secara nasional (Produksi Nasional Bruto/Gross National Product). Makin tinggi pertumbuhannya makin berhasil pembangunan suatu bangsa/negara. Paradigma ini juga menekankan perlunya kebebasan, pemupukan modal dan pembagian kerja (spesialisasi). Kelompok yang tidak puas dengan paradigma ini kemudian melaku pembaruan yang kemudian dikenal dgn Neo Ekonomi yang lebih menekankan pada pemerataan dgn mengukur berapa % dari PNB/GNP diraih oleh penduduk miskin. Meskipun paradigma neo-ekonomi ini masih sangat jelas dipengaruhi nilainilai ekonomi klasik, tetapi ada beberapa perbedaan yang fundamental dalam indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur pembangunan dan makna pertumbuhan itu sendiri. Paradigma neo-ekonomi menggunakan indikator dalam mengukur pembangunan sebagai berkurangnya kemiskinan, pengangguran dan berkurangnya kesenjangan.

Masih dalam paradigma ekonomi ini muncul juga pandangan (ekonomi politik neo klasik) yang melihat hubungan antara masyarakat maju (kapitalis) dengan masyarakat yang belum maju (pra kapitalis) yang melahirkan eksploitasi dari masyarakat maju kepada masyarakat belum maju sehingga yang terjadi adalah keterbelakangan (under development) dari masyarakat yg blm maju. Meskipun sudah banyak perubahan dalam paradigma ekonomi tetapi perkara utamanya tetap pertumbuhan dan pemerataan dipercayakan melalui mekanisme penetesan (trickle down effect)

2. Paradigma Kesejahteraan Sosial

Pada awalnya paradigma kesejahteraan sosial ini melihat pembangunan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Indikator pembangunan diukur dari pemenuhan kebutuhan dasar, seperti antara lain MASOL (Minimum Acceptable Standard of Living) yang dikembangkan oleh Doh Joon Chien atau PQLI (Physical Quality Life Index) yang sedikit lebih maju dengan mengukur harapan hidup, kematian bayi dan melek huruf sampai dengan yang lebih canggih yang melihat pembangunan sebagai upaya terencana untuk memenuhi kebutuhan sosial yang lebih tinggi, bukan berapa banyak, tetapi berapa baik, bukan kualitas barang tetapi kualitas hidup seperti antara lain keadilan, pemerataan, peningkatan budaya, kedamaian, dsb. (Bauer, 1966; Conyers, 1986) Meskipun telah terjadi banyak perkembangan tetapi perkara utama paradigma ini masih tetap pemenuhan kebutuhan hidup sehingga sering dikritik “mendudukkan masyarakat sebagai obyek bantuan” (Freire, 1984)

3. Paradigma Pembangunan Manusia

Melihat pembangunan sebagai pembangunan manusia untuk mampu berbuat dan menciptakan sejarahnya sendiri. Manusia sebagai fokus utama dan sumber utama pembangunan (Korten). Penghormatan terhadap martabat manusia, pembebasan manusia dari dominasi teknologi (Illich), pembebasan manusia dari dominasi pasar (Ramos), pembangunan manusia ; kelangsungan hidup, kehormatan dan kebebasan (Goulet), pembebasan manusia dari dominasi manusia lain melalui proses penyadaran diri (Freire). Fokus pembangunan bukan lagi pada ekonomi, sosial atau teknologi melainkan pada manusia itu sendiri.
     Pergeseran paradigma seperti tersebut di atas bergerak dari paradigma ekonomi ke paradigma kesejahteraan sosial akhirnya ke paradigma pemanusiaan. Pembangunan menurut kedua paradigma terdahulu (ekonomi dan kesejahteraan sosial) adalah pembangunan yang berkiblat ke manusia, sedangkan pembangunan menurut paradigma pemanusiaan adalah pembangunan manusia itu sendiri untuk menjadi manusia yang utuh dan merdeka atau secara ekonomi produktif dan secara sosial efektif (Soedjatmoko).
Penganut-penganut teori ini adalah Ivan Illich, Denis Goulet, Mahbub ul Haq, Freire, Guerreiro Ramos, David Korten, dsb. Pergeseran paradigma seperti tersebut di atas bergerak dari paradigma ekonomi ke paradigma kesejahteraan sosial akhirnya ke paradigma pemanusiaan. Pembangunan menurut kedua paradigma terdahulu (ekonomi dan kesejahteraan sosial) adalah pembangunan yang berkiblat ke manusia, sedangkan pembangunan menurut paradigma pemanusiaan adalah pembangunan manusia itu sendiri untuk menjadi manusia yang utuh dan merdeka atau secara ekonomi produktif dan secara sosial efektif.

  • Paradigma Pembangunan di Indonesia
1. Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan
Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial, Budaya, Pertahanan dan Keamanan Dikaitkan dengan Nilai-nilai Pancasila
Dalam pembangunan nasional pasti dibutuhkan suatu kerangka pemikiran yang melandasi pembangunan nasional itu sendiri. Oleh karena itu, pancasila dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional. Namun demikian, dari kata-kata Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan akan tercipta beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut:
- Apa itu Paradigma?
- Apa saja Nilai-nilai Pancasila yang dapat diterapkan sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan?
- Mengapa Pancasila dapat dijadikan Paradigma Pembangunan Nasional?
Orang yang pertama kali menyatakan istilah paradigma adalah Thomas Kuhn, sedangkan arti dari pardigma adalah kerangka pemikiran. Pembangunan Nasional tidak memiliki arti yang sempit hanya membangun fisiknya saja. Pembangunan Nasional memiliki arti yang luas yaitu membangun masyarakat Indonesia seutuhnya. Pancasila dapat dijadikan paradigma pembangunan Nasional karena nilai-nilai pancasila dapat diterapkan dan sesuai dengan perkembangan jaman. Dalam pembangunan Nasional harus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Pada undang-undang alinea ke-IV telah tercantum tujuan dari Negara Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencapai masyarakat adil dan makmur. Dan dalam upaya membangun Indonesia seutuhnya itulah diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Pancasila sebagai paradigma dalam pembangunan nasional bidang sosial dan budaya, pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sesuai dengan pancasila, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Dalam upaya membangun masyarakat seutuhnya, maka hendaknya juga berdasarkan pada sistem nilai dan budaya masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berdasar pada sila ketiga dari pancasila, yaitu persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya yang beragam di seluruh nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Diperlukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Sedangkan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan, memiliki arti bahwa untuk mencapai terciptanya masyarakat hukum diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Hal itu disebabkan karena Negara juga memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan wilayah negaranya. Nilai-nilai pancasila dalam penerapan pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan adalah :
a. Sila pertama dan kedua: pertahanan dan keamanan Negara harus mendasarkan pada tujuan demi tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Sila Ketiga: pertahanan dan keamanan Negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi kepentingan warga dalam seluruh warga sebagai warga Negara.
c. Sila keempat: pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak dasar persamaan derajat serta kebebasan kemanusiaan.
d. Sila kelima: pertahanan dan keamanan harus diperuntukan demi terwujudnya keadilan hidup masyarakat.
Membaca buku acuan dan referensi lain, dapat dimengerti tentang Pancasila sebagai Pardigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa nilai-nilai dari pancasila dapat dijadikan suatu paradigma atau kerangka pemikiran dalam pembangunan nasional.

Sumber:
http://satrioyudho.blogspot.com/2011/05/pancasila-sebagai-paradigma-pembangunan.html
http://ponzoolpanghua.blogspot.com/2009/01/pengaruh-paradigma-pembangunan-sosial.html
http://www.scribd.com/doc/87743477/Paradigma-Pembangunan

Ilmu Sosial Dasar

  1. INTERNASIONAL

Sengketa Internasional Wilayah Perbatasan


      Sengketa Internasional - sengketa internasional adalah kasus yang melibatkan dua Negara atau lebih yang tentu saja penyelesaian kasus sengketa internasional ini juga harus dilakukan atas dasar keputusan internasional. 
Wilayah perbatasan belakangan menjadi isu dan masalah yang pelik yang dihadapi oleh


negara-negara yang berbatasan darat secara langsung atau rebutan dan saling mengklaim
pulau, terutama di negara-negara Asia dimana geliat dan pertumbuhan perekonomiannya
begitu tinggi. Misalnya masih hangat dalam ingatan kita ketika beberapa negara seperti
China, Jepang, Philipina dan Vietnam saling mengklaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly,
masing-masing berusaha untuk saling menguasai bahkan sudah mulai dengan kekuatan
militer atau rebutan suatu pulau antara China dan Jepang di mana kedua negara tersebut saling mengancam tidak hanya dari kekuatan militer tetapi dengan kekuatan ekonomi misalnya dengan melakukan pembatalan ekspor dan embargo terhadap komoditi tertentu.
Sebab-Sebab Timbulnya Sengketa Internasional:

a. Segi Politis (Adanya Pakta Pertahanan atau Pakta Perdamaian)
Pasca perang dunia kedua (1945) muncul dua blok kekuatan besar, barat (liberal membentuk pakta pertahanan NATO) di bawah pimpinan Amerika dan timur (komunis membentuk pakta pertahanan Warsawa) dipimpin Uni Soviet. Kedua blok tersebut, saling berebut pegaruh di bidang ideology dan ekonomi serta saling berlomba memperkuat senjata. Akibatnya sering terjadi konflik (sengketa) di bernagai negara yang menjadi korban. Misalnya, krisis Kuba, Korea yang terbagi menjadi Korea Utara (komunis) dan Korea Selatan (liberal), Kamboja, Vietnam, dan sebagainya.

b. Segi Batas Wilayah Laut (Laut Teritorial dan Alam Daratan)
Adanya ketidakjelasan batas laut teritorial antara Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan (di Kalimantan). Sengketa tersebut diserahkan ke Mahkamah Internasional, hingga akhirnya pada tahun 2003 sengketa tersebut dimenangkan oleh Malaysia. Demikian juga masalah perbatasan di Kasmir yang hingga kini masih diperdebatkan antara India dan Pakistan. Masalah kepulauan “Spartly’s dan Paracel” di laut Cina Selatan, sampai sekarang masih diperebutkan oleh negara Filipina, Malaysia, Thailand, RRC, dan Vietnam. 
Contoh Sengketa Internasional:

1.  Sengketa Laut Cina Selatan dengan Empat Negara       ASEAN

    Negara-negara ASEAN belum berhasil menyatukan sikap mengenai bagaimana mengelola sengketa di Laut China Selatan yang belakangan ini kian panas. Proses pengelolaan sengketa yang melibatkan China dan empat negara ASEAN (Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei) itu kini memasuki tahapan penting dengan adanya rencana menyusun Code of Conduct (CoC) yang nantinya akan disepakati oleh semua negara anggota ASEAN dan China. Namun, ASEAN belum menemukan titik pandang yang sama mengenai bagaimana perumusan CoC harus dilakukan. Negara-negara ASEAN terbelah dalam mendudukkan posisi dan peran China. Di satu pihak, sebagian negara ASEAN berpendapat bahwa China harus dilibatkan sejak awal dalam proses perumusan CoC. Sebagian anggota lain, khususnya Filipina dan Vietnam, bersikukuh ASEAN harus menyatukan posisi terlebih dulu sebelum menyodorkan draf CoC untuk dinegosiasikan dengan China.
           Pihak China tampaknya berpandangan bahwa perumusan CoC tidak akan efektif tanpa melibatkan mereka sejak awal. Sikap ini mencerminkan posisi Beijing yang enggan merundingkan CoC setelah ASEAN memiliki posisi bersama mengenai masalah ini. Bagi China, keterlibatannya sejak awal dalam merumuskan CoC, terutama pada saat negara-negara ASEAN masih memiliki perbedaan pendapat, akan memberi keuntungan strategis dan taktis. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Presiden Hu Jintao, dalam lawatannya ke Kamboja beberapa hari sebelum KTT Ke-20 ASEAN, meminta bantuan Kamboja agar ASEAN ”tidak terburu-buru” dalam menyelesaikan rancangan CoC. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kapan China harus dilibatkan, ASEAN belum menyepakati mengenai fungsi dan elemen-elemen apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam CoC. 
          Filipina masih bersikukuh bahwa harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai wilayah- wilayah mana yang disengketakan dan yang tidak. Sementara sebagian negara ASEAN lainnya berpendapat permintaan Filipina itu sulit dilakukan mengingat sengketa atas kedaulatan dan yurisdiksi di Laut China Selatan mustahil diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, CoC sebaiknya dirumuskan tidak untuk menyelesaikan sengketa teritorial, tetapi untuk merumuskan sebuah mekanisme yang dapat mendorong kerja sama, membangun sikap saling percaya, mencegah konflik dan mengelola krisis, serta menanggulangi insiden di laut.

2. Sengketa Internasional antara Indonesia dan Timor Leste.

      Klaim wilayah Indonesia, ternyata bukan hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga oleh Timor Leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara KesatuanRepublik Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste dengan wilayah Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (RI) dengan Timor Leste.
  • Penyelesaian Sengketa
      Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Timor Leste dan kemungkinan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan penyelesaian.Masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Lima titik tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga Timor Leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten Belu dan dua di perbatasan Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan. Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara yakni:
Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah.
Semula, pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubahSelain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara.
Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas negara:

3.  Sengketa Internasional Antara Jepang Dan Korea

  Perebutan kepemilikan Pulau Daioyu/Senkaku antara China-Jepang telah berlangsung sejak tahun 1969. Sengketa ini diawali ketika ECAFE menyatakan bahwa diperairan sekitar Pulau Daioyu/Senkaku terkandung hidrokarbon dalam jumlah besar. Kemudian pada tahun 1970, Jepang dan Amerika Serikat menandatangani perjanjian pengembalian Okinawa, termasuk pulau Daioyu/Senkaku kepada Jepang. Hal inilah yang kemudian diprotes China, karena China merasa bahwa pulau tersebut adalah miliknya.Sengketa ini semakin berkembang pada tahun 1978, ketika Jepang membangun mercusuar di Pulau Daioyu untuk melegitimasi pulau tersebut. Ketegangan ini berlanjut ketika Jepang mengusir kapal Taiwan dari perairan Daioyu. Meskipun protes yang terus menerus dari China maupun Taiwan, namun tahun 1990an Jepang kembali memperbaiki mercusuar yang telah dibangun oleh kelompok kanan Jepang di Daiyou. Secara resm
  •  Penyelesaian Sengketa
        China memprotes tindakan Jepang atas Pulau tersebut.
Sampai saat ini permasalahan ini belum dapat diselesaikan. Kedua negara telah mengadakan pertemuan untuk membicarakan dan menyelesaikan sengketa. Namun dari beberapa kali pertemuan yang telah dilakukan belum ada penyelesaian, karena kedua negara bersikeras bahwa pulau tersebut merupakan bagian kedaulatan dari negara mereka, akibat overlapping antara ZEE Jepang dan landas kontinen China. Hal inilah yang belum terjawab oleh Hukum laut 1982. Meskipun saat ini banyak yang menggunakan pendekatan median/equidistance line untuk pembagian wilayah yang saling tumpang tindih, namun belum dapat menyelesaikan perebutan antara kedua negara, karena adanya perbedaan interpretasi terhadap definisi equidistance line.
      Alternatif lain juga telah ditawarkan untuk penyelesaian konflik, yaitu melalui pengelolaan bersama (JDA, Joint Development Agreement). Sebenarnya dengan pengelolaan bersama tidak hanya akan menyelesaikan sengketa perbatasan laut kedua negara, tetapi memiliki unsur politis. Hal ini akan memperbaiki hubungan China-Jepang, karena menyangkut kepentingan kedua negara, sehingga kedua negara harus selalu menjaga hubungan baik agar kesepakatan dapat berjalan dengan baik. Namun sayangnya tawaran ini ditolak China, padahal sebenarnya kesepakatan ini dapat digunakan untuk membangun masa depan yang cerah bersama Jepang.Melihat sulitnya dicapai kesepakatan China-Jepang, alternatif penyelesaian akhir yang harus ditempuh adalah melalui Mahkamah Internasional. Namun penyelesaian tersebut cukup beresiko, karena hasilnya akan take all or nothing. 

4.  Sengketa Internasional Sipadan dan Ligitan

  Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
      Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
      Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
       Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpurpada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia.
Keputusan Mahkamah Internasional Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbanganeffectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
         Begitu pentingnya wilayah perbatasan ini, sehingga pemerintah menganggap perlu untukmembentuk lembaga nonkementrian khusus yang dinamakan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang kemudian dikukuhkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang BNPP. Diharapkan lembaga ini dapat berfungsi sebagai ujung tombak dalam pengelolaan kawasan perbatasan bukan saja pemantauan terhadap batas wilayah.


Sumber:
http://blog.codingwear.com/bacaan-141-Contoh-Sengketa-Internasional.html
http://internasional.kompas.com/read/2012/04/11/02542066/ASEAN.dan.Sengketa.Laut.China.Selatan
http://www.jualbeliforum.com/pendidikan/215338-5-contoh-sengketa-internasional.html
http://www.anri.go.id/data/artikel_data/111d9f6c23f06a957135eb48ccfffb51.pdf