17 Ribu WNI Dicambuk di Malaysia
“Malaysia membuat ribuan orang dari negara-negara Asia sebagai subyek penyiksaan."
Jum'at, 11 Maret 2011, 10:21 WIB
Arfi Bambani Amri
TKI ilegal yang dideportasi dari Malaysia
VIVAnews - Amnesty International menyerukan Malaysia menghentikan segala bentuk penghukuman fisik seperti pencambukan. Amnesty melaporkan, hampir 30.000 warga asing dicambuk dan 60 persen di antaranya adalah Warga Negara Indonesia atau lebih dari 17.000 orang. Laporan tentang Malaysia yang masih melakukan hukum cambuk terungkap di parlemen Malaysia pada 9 Maret 2011. Menteri Dalam Negeri Malaysia, Hishammudin Hussein, membuka bahwa Malaysia telah mencambuk 29.759 warga asing antara 2005 hingga 2010 untuk pelanggaran imigrasi saja. Amnesty meminta Malaysia harus selekasnya menghentikan hukuman cambuk bagi pengungsi dan orang migran. “Angka pemerintah tersebut mengkonfirmasi Malaysia menjadikan ribuan orang sebagai subyek penyiksaan dan perlakuan buruk tiap tahunnya,” kata Sam Zarifi, Direktur Asia Pasifik di Amnesty International dalam siaran persnya, Jumat 11 Maret 2011. “Ini adalah praktek yang sangat dilarang berdasarkan hukum internasional, terlepas apapun keadaannya.”
“Sebagai langkah pemerintah, pemerintah Malaysia harus sesegera mungkin menyatakan moratorium atas praktek brutal ini.”
Amnesty International juga menyerukan abolisi total atas segala bentuk hukuman pidana fisik, yang merupakan bagian dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.
Pada Desember 2010, Amnesty International mempublikasikan laporan investigasi mendalam atas praktek hukuman cambuk di Malaysia. Pada tiap 57 kasus yang diperiksanya, Amnesty International menemukan bahwa pencambukan itu termasuk penyiksaan, karena pihak berwenang secara sengaja mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan melalui penghukuman cambuk. Ketika kebanyakan negara-negara menghapus hukuman cambuk, Malaysia justru memperluas prakteknya. Parlemen telah meningkatkan jumlah pelanggaran yang bisa dihukum dengan hukuman cambuk hingga 60 pelanggaran. Sejak 2002, setelah Parlemen mengamandemen Undang-Undang Imigrasi 1959/63 untuk membuat pelanggaran keimigrasian, seperti masuk secara illegal, sebagai subjek hukuman cambuk, puluhan ribu pengungsi dan pekerja migran telah dicambuk. Setidaknya 60 persen dari 29,759 warga asing yang dicambuk adalah warga negara Indonesia, menurut Liew Chin Tong, anggota parlemen yang melempar pertanyaan. Pada Maret 2010, Amnesty International mendokumentasikan bagaimana pelanggaran yang tak terperiksa, oleh agen tenaga kerja, mengakibatkan banyak pekerja migran kehilangan status imigrasi legal sehingga menjadi subyek hukuman cambuk. Pengungsi juga dicambuk untuk alasan pelanggaran imigrasi di Malaysia. Karena Malaysia belum juga meratifikasi Konvensi PBB tentang Pengungsi, pencari suaka kerap ditangkap dan dihukum sebagai pendatang ilegal. Pengungsi Burma di Malaysia mengatakan pada Amnesty International bagaimana mereka hidup dalam ketakutan setelah dicambuk.
“Malaysia membuat ribuan orang dari negara-negara Asia sebagai subyek penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya,” kata Zarifi. “Indonesia, yang mengetuai Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan komisi hak asasi manusianya tahun ini, harus menekan Malaysia untuk menghentikan pencambukan warganya.”
“Sebagai langkah pemerintah, pemerintah Malaysia harus sesegera mungkin menyatakan moratorium atas praktek brutal ini.”
Amnesty International juga menyerukan abolisi total atas segala bentuk hukuman pidana fisik, yang merupakan bagian dari penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.
Pada Desember 2010, Amnesty International mempublikasikan laporan investigasi mendalam atas praktek hukuman cambuk di Malaysia. Pada tiap 57 kasus yang diperiksanya, Amnesty International menemukan bahwa pencambukan itu termasuk penyiksaan, karena pihak berwenang secara sengaja mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan melalui penghukuman cambuk. Ketika kebanyakan negara-negara menghapus hukuman cambuk, Malaysia justru memperluas prakteknya. Parlemen telah meningkatkan jumlah pelanggaran yang bisa dihukum dengan hukuman cambuk hingga 60 pelanggaran. Sejak 2002, setelah Parlemen mengamandemen Undang-Undang Imigrasi 1959/63 untuk membuat pelanggaran keimigrasian, seperti masuk secara illegal, sebagai subjek hukuman cambuk, puluhan ribu pengungsi dan pekerja migran telah dicambuk. Setidaknya 60 persen dari 29,759 warga asing yang dicambuk adalah warga negara Indonesia, menurut Liew Chin Tong, anggota parlemen yang melempar pertanyaan. Pada Maret 2010, Amnesty International mendokumentasikan bagaimana pelanggaran yang tak terperiksa, oleh agen tenaga kerja, mengakibatkan banyak pekerja migran kehilangan status imigrasi legal sehingga menjadi subyek hukuman cambuk. Pengungsi juga dicambuk untuk alasan pelanggaran imigrasi di Malaysia. Karena Malaysia belum juga meratifikasi Konvensi PBB tentang Pengungsi, pencari suaka kerap ditangkap dan dihukum sebagai pendatang ilegal. Pengungsi Burma di Malaysia mengatakan pada Amnesty International bagaimana mereka hidup dalam ketakutan setelah dicambuk.
“Malaysia membuat ribuan orang dari negara-negara Asia sebagai subyek penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya,” kata Zarifi. “Indonesia, yang mengetuai Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan komisi hak asasi manusianya tahun ini, harus menekan Malaysia untuk menghentikan pencambukan warganya.”
• VIVAnews
Minggu, 05 Juli 2009 17:15 wib
Penyiksaan TKW Bentuk Penghinaan Terhadap Bangsa Indonesia
Untuk kali kesekian tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di Malaysia mengalami penyiksaan fisik yang mencederakan. Siami, begitu nama TKW tersebut, disiksa dengan cara disiram air panas oleh majikannya lantaran wanita asal Jawa Timur itu membuat bubur yang terlalu encer.
Sikap dan simpati kita sebagai bangsa tentu geram atas ulah majikan Siami di Kuala Lumpur itu. Masih saja praktik penyiksaan seperti ini terjadi. Dan terjadi lagi. Kesannya, eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan itu tidak pernah bisa dihentikan. Hukuman berat terhadap pelaku serupa sebelumnya tidak menjerakan. Oleh sebab itu, perlu pemikiran dan solusi tertentu yang lebih dapat menjamin keamanan dan keselamatan TKW-TKI yang bekerja di negara lain. Bahkan, perlu ada semacam perjanjian dengan pemerintah negara bersangkutan untuk melindungi TKW. Kita memiliki Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Bahkan, memiliki badan perlindungan terhadap TKI. Hanya, sampai sekarang upaya memberikan perlindungan yang lebih baik dan kuat belum terlihat nyata. Kita membayangkan sekaligus mengharapkan agar setiap terjadi kasus penyiksaan terhadap TKW ada respons cepat. Respons itu mencakup kecepatan menangani masalah, terutama mengenai pelanggaran hukumnya, titik berat penanganan perkara, serta upaya memberikan hukuman yang berat dan maksimal terhadap setiap pelaku penyiksaan. Pemerintah Indonesia dan Malaysia perlu menggalang kesepahaman mengenai penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum terhadap TKW. Misalnya, membuat item-item perjanjian mengenai tindakan hukum yang dapat menjerakan setiap bentuk penyiksaan yang merendahkan martabat manusia. Sudah sering terjadi pelanggaran hukum terhadap TKI-TKW berupa eksploitasi yang tidak manusiawi. Misalnya, menyiramnya dengan air panas. Melukai. Menyekap. Atau bahkan menyetrika bagian tubuh TKW.
Bentuk-bentuk penyiksaan seperti itu bukan hanya merupakan bentuk pelanggaran hukum yang sarat perbuatan kriminal, melainkan juga merupakan bentuk eskploitasi yang merendahkan martabat manusia.
Terhadap pelanggaran hukum seperti ini, yang harus dikedepankan bukan hanya penanganan melalui pendekatan tindak pidana, melainkan pelanggaran berat HAM karena dampaknya telah berupa kejahatan luar biasa melalui tindak kekerasan berencana. Perlu ada solusi hukum yang juga terencana dan sistematik. Tidak bisa pendekatan penindakan terhadap kejahatan yang jelas-jelas terencana ini hanya berupa penindakan hukum konvensional. Pemerintah RI pun melalui Depnakertrans perlu sensitif bahwa setiap bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dengan tindak kekerasan yang terencana –melanggar HAM- harus dipahami sebagai bentuk penghinaan dan penistaan yang merendahkan martabat bangsa Indonesia. TKW-TKI yang bekerja di Malaysia -dan juga negara-negara lain- secara tidak langsung merupakan wakil atau cermin bangsa Indonesia. Karena itu, setiap bentuk penyiksaan dan kekerasan berencana harus dianggap pula sebagai mempermalukan kita sebagai bangsa.
Sikap dan simpati kita sebagai bangsa tentu geram atas ulah majikan Siami di Kuala Lumpur itu. Masih saja praktik penyiksaan seperti ini terjadi. Dan terjadi lagi. Kesannya, eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan itu tidak pernah bisa dihentikan. Hukuman berat terhadap pelaku serupa sebelumnya tidak menjerakan. Oleh sebab itu, perlu pemikiran dan solusi tertentu yang lebih dapat menjamin keamanan dan keselamatan TKW-TKI yang bekerja di negara lain. Bahkan, perlu ada semacam perjanjian dengan pemerintah negara bersangkutan untuk melindungi TKW. Kita memiliki Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Bahkan, memiliki badan perlindungan terhadap TKI. Hanya, sampai sekarang upaya memberikan perlindungan yang lebih baik dan kuat belum terlihat nyata. Kita membayangkan sekaligus mengharapkan agar setiap terjadi kasus penyiksaan terhadap TKW ada respons cepat. Respons itu mencakup kecepatan menangani masalah, terutama mengenai pelanggaran hukumnya, titik berat penanganan perkara, serta upaya memberikan hukuman yang berat dan maksimal terhadap setiap pelaku penyiksaan. Pemerintah Indonesia dan Malaysia perlu menggalang kesepahaman mengenai penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum terhadap TKW. Misalnya, membuat item-item perjanjian mengenai tindakan hukum yang dapat menjerakan setiap bentuk penyiksaan yang merendahkan martabat manusia. Sudah sering terjadi pelanggaran hukum terhadap TKI-TKW berupa eksploitasi yang tidak manusiawi. Misalnya, menyiramnya dengan air panas. Melukai. Menyekap. Atau bahkan menyetrika bagian tubuh TKW.
Bentuk-bentuk penyiksaan seperti itu bukan hanya merupakan bentuk pelanggaran hukum yang sarat perbuatan kriminal, melainkan juga merupakan bentuk eskploitasi yang merendahkan martabat manusia.
Terhadap pelanggaran hukum seperti ini, yang harus dikedepankan bukan hanya penanganan melalui pendekatan tindak pidana, melainkan pelanggaran berat HAM karena dampaknya telah berupa kejahatan luar biasa melalui tindak kekerasan berencana. Perlu ada solusi hukum yang juga terencana dan sistematik. Tidak bisa pendekatan penindakan terhadap kejahatan yang jelas-jelas terencana ini hanya berupa penindakan hukum konvensional. Pemerintah RI pun melalui Depnakertrans perlu sensitif bahwa setiap bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dengan tindak kekerasan yang terencana –melanggar HAM- harus dipahami sebagai bentuk penghinaan dan penistaan yang merendahkan martabat bangsa Indonesia. TKW-TKI yang bekerja di Malaysia -dan juga negara-negara lain- secara tidak langsung merupakan wakil atau cermin bangsa Indonesia. Karena itu, setiap bentuk penyiksaan dan kekerasan berencana harus dianggap pula sebagai mempermalukan kita sebagai bangsa.
Komnas HAM: Penyiksaan oleh Polisi Meningkat Tahun 2011
Kepolisian Indonesia tercatat sebagai institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran HAM di tahun 2011. Ini tercermin dalam laporan akhir tahun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau KOMNAS HAM.
Foto: Fathiyah
Ketua Komnas HAM, Ifdal Kasim: sebagian besar pengaduan pelanggaran HAM yang masuk ke Komnas HAM dilakukan polisi. Dalam catatan akhir tahunnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan bahwa polisi merupakan pelanggar HAM tertinggi pada tahun 2011. Selama Januari hingga November 2011, Komnas HAM menerima sekitar 4.502 pengaduan kasus pelanggaran HAM dari seluruh wilayah di Indonesia. Pihak yang banyak diadukan adalah polisi. Ketua Komnas HAM, Ifdal Kasim mengatakan hal-hal yang diadukan masyarakat terkait dengan masalah penahanan dan penangkapan, diskriminasi dalam penyidikan, penembakan dan kekerasan serta penyiksaan dalam proses pemeriksaan. Angka penyiksaan yang dilakukan oleh polisi kata Ifdal berjumlah 40 kasus, meningkat dibanding tahun sebelumnya yaitu 30 kasus. Komnas HAM memandang bahwa penyiksaan merupakan kejahatan serius yang telah terjadi dalam waktu yang lama, terpola, luas dan sistematis pada tubuh kepolisian. Namun, kejahatan tersebut tidak dapat diproses secara hukum karena adanya kekosongan hukum. Untuk itu pemerintah Indonesia menurut Ifdal harus segera merumuskan dan mengesahkan Undang-undang Anti Penyiksaan dengan merujuk pada Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia. Ifdal Kasim mengatakn, "Pihak kepolisian dalam prosesn intrograsi, kemudian dalam proses pengamanan-pengamanan demonstrasi termasuk pengamanan-pengamanan dalam sengketa-sengketa diperkebunan. Ini yang banyak terekan didalam pengaduan Komnas terkait merebaknya gejala penyiksaan dalam tahun 2011 ini."
ASSOCIATED PRESS
Selain tingginya kasus penyiksaan yang dilakukan polisi, dalam laporannya Komnas HAM juga menyatakan masalah hak beragama dan berkeyakinan di Indonesia mengalami titik balik. Hal itu setidaknya tercermin dalam dua kasus yaitu kasus penyerangan terhadap Jemaah Ahamadiyah di Cikeusik, Banten pada 6 Februari 2011 lalu dan kasus penghalangan ibadah di Gereja Yasmin, Bogor. Memburuknya situasi penghormatan atas hak beragama dan berkeyakinan di Indonesia disebabkan regulasi yang memberikan peluang bagi tumbuhnya kelompok yang kerap melakukan kekerasan atas nama agama. Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim menjelaskan, "Belum dapat dipecahkan oleh pemerintah dalam melindungi kebebasan atau memudahkan umat untuk menjalankan ibadahnya untuk mendirikan rumah ibadah in." Sebelumnya, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengakui masih ada anggotanya yang melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya. Meski demikian kata Timur pihaknya akan menindak tegas anggotanya yang terbukti melakukan pelanggaran. "Kami menyadari bahwa masih ada berbagai celah serta kekurangan sehingga dalam pelaksanaan tugas di lapangan kerap kali ditemukan terjadinya pelanggaran yang dilakukan anggota. Menyikapi hal tersebut Polri tetap mendudukkan permasalahan secara proporsional. Bagi anggota yang melakukan pelanggaran secara tegas akan diajukan pertanggujawaban, baik secara pidana maupun kode etik profesi," demikian penjelasan Timur Pradopo.
Antasari: Penegakan Keadilan Di Indonesia Gagal
PEMBELAAN ANTASARI : Terdakwa kasus pembunuhan berencana Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen, Antasari Azhar membacakan nota pembelaan saat sidang di pengadilan negeri Jakarta Selatan, Kamis (28/1). Dalam pembelaannya , mantan Ketua KPK tersebut menilai tunutan hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum kepada dirinya tidak didasarkan fakta yang terungkap di persidangan dan menilai hanya mencari sensasi belaka. ( FOTO ANTARA/Prasetyo Utomo/Koz/mes/10.) Jakarta ( Berita ) : Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, menyatakan, penanganan hukum terhadap dirinya merupakan bentuk kegagalan penegakan keadilan di tanah air. “Harusnya saya dibebaskan dari segala tuntutan,” katanya saat membacakan pledoi (pembelaan) dirinya dalam sidang dugaan pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB), Nasrudin Zulkarnaen, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis [28/01]. Sebelumnya, JPU menuntut Antasari Azhar dengan hukuman mati terkait pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen. Demikian pula dengan terdakwa lainnya, Sigit Haryo Wibisono dan Kombes Pol Williardi Wizard, dituntut hukuman mati. Sedangkan terdakwa Jerry Hermawan Lo, dituntut 15 tahun penjara. Antasari memaparkan kegagalan penegakkan keadilan dapat terbukti saat Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 1 Mei 2009 mengumumkan dirinya sebagai tersangka atau aktor intelektual kasus pembunuhan itu. “Padahal kepolisian pada 4 Mei 2009 baru mengumumkan tersangka pembunuhan,” katanya. Demikian pula dengan pernyataan Jaksa Agung, Hendarman Supandji yang dimuat salah satu media cetak nasional, mengenai mencari peluang untuk menuntut hukuman terhadap Antasari. “Padahal saat itu perkara belum dilimpahkan apalagi diproses dalam persidangan. Mengapa ungkapan demikian datang dari pimpinan kejaksaan yang merupakan korps yang saya cintai yang mana saya sebagai ketua KPK berasal dari perintah Jaksa Agung,” katanya. Di bagian lain, ia menyatakan penuntutan terhadap dirinya dengan hukuman mati, banyak kejanggalan. “Mulai dari penyidikan, membuat surat dakwaan, hingga pemeriksaan di pengadilan banyak yang janggal,” katanya. Sementara itu, tim kuasa hukum Antasari Azhar, Juniver, mengatakan kasus terhadap kliennya itu merupakan serangan balik dari orang yang terusik oleh kinerja Antasari untuk memberantas korupsi. “Ada beberapa kasus yang tengah ditangani KPK saat itu, seperti, pengadaan IT KPU, Pengaturan Upah Pungut di pusat maupun Daerah oleh beberapa Pemerintah Daerah, serta Kasus Masaro Proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) yang kemudian bergulir menjadi adanya upaya penyuapan pada KPK,” katanya.Antasari menyebutkan dirinya saat menjabat sebagai pimpinan KPK, tidak pandang bulu melakukan pemberantasan korupsi. “Saya tidak pandang bulu untuk memberantas korupsi,” katanya. ( ant )
Adang Daradjatun: Kami Minta Keadilan
Raymond Kaya
Adang Daradjatun
10/06/2011 17:04
Liputan6.com, Jakarta: Keberadaan tersangka kasus suap Nunun Nurbaeti kini menjadi perhatian dunia internasional, setelah pihak Kepolisian Indonesia mengirimkan Red Notice atau permohonan pencarian orang ke markas interpol di Prancis. Kini nama Nununpun dicari oleh 188 negara yang mendapatkan Red Notice ini. Adang Daradjatun, Anggota DPR dari PKS yang juga suami Nunun kembali menegaskan bahwa istrinya dalam keadaan sakit, dan meminta media agar menanyakannya pada dokter Andreas yang mengobatinya. "Yang pasti ibu stroke setelah diperiksa KPK, kemudian sakit, saya tidak mengerti apa istilahnya, silahkan KPK meneliti hasil pemeriksaan dokter. Ibu juga sudah 61 tahun sehingga tidak semudah itu penyakitnya bisa hilang," ujar Adang. Soal keberadaan Nunun, Adang tak mengungkapkannya dengan pasti. "Ibu Nunun berada di hati saya," ujarnya sambil tersenyum. "Yang jelas ibu berada di luar negeri," tegas Adang Daradjatun. Adang memastikan Nunun Nurbaeti tidak akan kembali meskipun Red Notice sudah disebar. "Penetapapan ibu jadi tersangka kemudian paspornya dicabut menyebabkan ibu Nunun dan keluarga menjadi keras," ungkap Adang. Meski demikian Adang Daradjatun masih percaya dengan sistem hukum di Indonesia, dan tidak akan menghalangi proses hukum yang terjadi bila istrinya dihadapkan ke pengadilan. yang Adang harapkan adalah rasa keadilan buat keluarganya. "Beri keluarga kami keadilan yang sebenarnya," ujar Adang. (RKA)
Sumber : http://berita.liputan6.com/read/338714/adang-daradjatun-kami-minta-keadilan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar