- INTERNASIONAL
Sengketa Internasional - sengketa internasional adalah kasus yang melibatkan dua Negara atau lebih yang tentu saja penyelesaian kasus sengketa internasional ini juga harus dilakukan atas dasar keputusan internasional.
Wilayah perbatasan belakangan menjadi isu dan masalah yang pelik yang dihadapi oleh
negara-negara yang berbatasan darat secara langsung atau rebutan dan saling mengklaim
pulau, terutama di negara-negara Asia dimana geliat dan pertumbuhan perekonomiannya
begitu tinggi. Misalnya masih hangat dalam ingatan kita ketika beberapa negara seperti
China, Jepang, Philipina dan Vietnam saling mengklaim atas kepemilikan Kepulauan Spratly,
masing-masing berusaha untuk saling menguasai bahkan sudah mulai dengan kekuatan
militer atau rebutan suatu pulau antara China dan Jepang di mana kedua negara tersebut saling mengancam tidak hanya dari kekuatan militer tetapi dengan kekuatan ekonomi misalnya dengan melakukan pembatalan ekspor dan embargo terhadap komoditi tertentu.
Sebab-Sebab Timbulnya Sengketa Internasional:
a. Segi Politis (Adanya Pakta Pertahanan atau Pakta Perdamaian)
Pasca perang dunia kedua (1945) muncul dua blok kekuatan besar, barat (liberal membentuk pakta pertahanan NATO) di bawah pimpinan Amerika dan timur (komunis membentuk pakta pertahanan Warsawa) dipimpin Uni Soviet. Kedua blok tersebut, saling berebut pegaruh di bidang ideology dan ekonomi serta saling berlomba memperkuat senjata. Akibatnya sering terjadi konflik (sengketa) di bernagai negara yang menjadi korban. Misalnya, krisis Kuba, Korea yang terbagi menjadi Korea Utara (komunis) dan Korea Selatan (liberal), Kamboja, Vietnam, dan sebagainya.
b. Segi Batas Wilayah Laut (Laut Teritorial dan Alam Daratan)
Adanya ketidakjelasan batas laut teritorial antara Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan (di Kalimantan). Sengketa tersebut diserahkan ke Mahkamah Internasional, hingga akhirnya pada tahun 2003 sengketa tersebut dimenangkan oleh Malaysia. Demikian juga masalah perbatasan di Kasmir yang hingga kini masih diperdebatkan antara India dan Pakistan. Masalah kepulauan “Spartly’s dan Paracel” di laut Cina Selatan, sampai sekarang masih diperebutkan oleh negara Filipina, Malaysia, Thailand, RRC, dan Vietnam.
Contoh Sengketa Internasional:
1. Sengketa Laut Cina Selatan dengan Empat Negara ASEAN
Negara-negara ASEAN belum berhasil menyatukan sikap mengenai bagaimana mengelola sengketa di Laut China Selatan yang belakangan ini kian panas. Proses pengelolaan sengketa yang melibatkan China dan empat negara ASEAN (Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei) itu kini memasuki tahapan penting dengan adanya rencana menyusun Code of Conduct (CoC) yang nantinya akan disepakati oleh semua negara anggota ASEAN dan China. Namun, ASEAN belum menemukan titik pandang yang sama mengenai bagaimana perumusan CoC harus dilakukan. Negara-negara ASEAN terbelah dalam mendudukkan posisi dan peran China. Di satu pihak, sebagian negara ASEAN berpendapat bahwa China harus dilibatkan sejak awal dalam proses perumusan CoC. Sebagian anggota lain, khususnya Filipina dan Vietnam, bersikukuh ASEAN harus menyatukan posisi terlebih dulu sebelum menyodorkan draf CoC untuk dinegosiasikan dengan China.
Pihak China tampaknya berpandangan bahwa perumusan CoC tidak akan efektif tanpa melibatkan mereka sejak awal. Sikap ini mencerminkan posisi Beijing yang enggan merundingkan CoC setelah ASEAN memiliki posisi bersama mengenai masalah ini. Bagi China, keterlibatannya sejak awal dalam merumuskan CoC, terutama pada saat negara-negara ASEAN masih memiliki perbedaan pendapat, akan memberi keuntungan strategis dan taktis. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Presiden Hu Jintao, dalam lawatannya ke Kamboja beberapa hari sebelum KTT Ke-20 ASEAN, meminta bantuan Kamboja agar ASEAN ”tidak terburu-buru” dalam menyelesaikan rancangan CoC. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kapan China harus dilibatkan, ASEAN belum menyepakati mengenai fungsi dan elemen-elemen apa saja yang perlu dimasukkan ke dalam CoC.
Filipina masih bersikukuh bahwa harus ada kejelasan terlebih dahulu mengenai wilayah- wilayah mana yang disengketakan dan yang tidak. Sementara sebagian negara ASEAN lainnya berpendapat permintaan Filipina itu sulit dilakukan mengingat sengketa atas kedaulatan dan yurisdiksi di Laut China Selatan mustahil diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu, CoC sebaiknya dirumuskan tidak untuk menyelesaikan sengketa teritorial, tetapi untuk merumuskan sebuah mekanisme yang dapat mendorong kerja sama, membangun sikap saling percaya, mencegah konflik dan mengelola krisis, serta menanggulangi insiden di laut.
2. Sengketa Internasional antara Indonesia dan Timor Leste.
Klaim wilayah Indonesia, ternyata bukan hanya dilakukan oleh Malaysia, tetapi juga oleh Timor Leste, negara yang baru berdiri sejak lepas dari Negara KesatuanRepublik Indonesia pada tahun 1999. Klaim wilayah Indonesia ini dilakukan oleh sebagian warga Timor Leste tepatnya di perbatasan wilayah Timor Leste dengan wilayah Indonesia, yaitu perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (RI) dengan Timor Leste.
- Penyelesaian Sengketa
Permasalahan perbatasan antara RI dan Timor Leste itu kini sedang dalam rencana untuk dikoordinasikan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Timor Leste dan kemungkinan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendapatkan penyelesaian.Masalah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste, khususnya di lima titik yang hingga kini belum diselesaikan akan dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Lima titik tersebut adalah Imbate, Sumkaem, Haumeniana, Nimlat, dan Tubu Banat, yang memiliki luas 1.301 hektare (ha) dan sedang dikuasai warga Timor Leste. Tiga titik diantaranya terdapat di perbatasan Kabupaten Belu dan dua di perbatasan Timor Leste dengan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).Berlarutnya penyelesaian lima titik di perbatasan tersebut mengakibatkan penetapan batas laut kedua negara belum bisa dilakukan. Di lima titik tersebut, ada dua hal yang belum disepakati warga dari kedua negara yakni:
Penetapan batas apakah mengikuti alur sungai terdalam, dan persoalan pembagian tanah.
Semula, pemerintah Indonesia dan Timor Leste sepakat batas kedua negara adalah alur sungai terdalam, tetapi tidak disepakati warga, karena alur sungai selalu berubah-ubahSelain itu, ternak milik warga di perbatasan tersebut minum air di sungai yang berada di tapal batas kedua negara.
Jika sapi melewati batas sungai terdalam, warga tidak bisa menghalaunya kembali, karena melanggar batas negara.warga kedua negara yang bermukim di perbatasan harus rela membagi tanah ulayat mereka, karena menyangkut persoalan batas negara:
3. Sengketa Internasional Antara Jepang Dan Korea
Perebutan kepemilikan Pulau Daioyu/Senkaku antara China-Jepang telah berlangsung sejak tahun 1969. Sengketa ini diawali ketika ECAFE menyatakan bahwa diperairan sekitar Pulau Daioyu/Senkaku terkandung hidrokarbon dalam jumlah besar. Kemudian pada tahun 1970, Jepang dan Amerika Serikat menandatangani perjanjian pengembalian Okinawa, termasuk pulau Daioyu/Senkaku kepada Jepang. Hal inilah yang kemudian diprotes China, karena China merasa bahwa pulau tersebut adalah miliknya.Sengketa ini semakin berkembang pada tahun 1978, ketika Jepang membangun mercusuar di Pulau Daioyu untuk melegitimasi pulau tersebut. Ketegangan ini berlanjut ketika Jepang mengusir kapal Taiwan dari perairan Daioyu. Meskipun protes yang terus menerus dari China maupun Taiwan, namun tahun 1990an Jepang kembali memperbaiki mercusuar yang telah dibangun oleh kelompok kanan Jepang di Daiyou. Secara resm
- Penyelesaian Sengketa
China memprotes tindakan Jepang atas Pulau tersebut.
Sampai saat ini permasalahan ini belum dapat diselesaikan. Kedua negara telah mengadakan pertemuan untuk membicarakan dan menyelesaikan sengketa. Namun dari beberapa kali pertemuan yang telah dilakukan belum ada penyelesaian, karena kedua negara bersikeras bahwa pulau tersebut merupakan bagian kedaulatan dari negara mereka, akibat overlapping antara ZEE Jepang dan landas kontinen China. Hal inilah yang belum terjawab oleh Hukum laut 1982. Meskipun saat ini banyak yang menggunakan pendekatan median/equidistance line untuk pembagian wilayah yang saling tumpang tindih, namun belum dapat menyelesaikan perebutan antara kedua negara, karena adanya perbedaan interpretasi terhadap definisi equidistance line.
Alternatif lain juga telah ditawarkan untuk penyelesaian konflik, yaitu melalui pengelolaan bersama (JDA, Joint Development Agreement). Sebenarnya dengan pengelolaan bersama tidak hanya akan menyelesaikan sengketa perbatasan laut kedua negara, tetapi memiliki unsur politis. Hal ini akan memperbaiki hubungan China-Jepang, karena menyangkut kepentingan kedua negara, sehingga kedua negara harus selalu menjaga hubungan baik agar kesepakatan dapat berjalan dengan baik. Namun sayangnya tawaran ini ditolak China, padahal sebenarnya kesepakatan ini dapat digunakan untuk membangun masa depan yang cerah bersama Jepang.Melihat sulitnya dicapai kesepakatan China-Jepang, alternatif penyelesaian akhir yang harus ditempuh adalah melalui Mahkamah Internasional. Namun penyelesaian tersebut cukup beresiko, karena hasilnya akan take all or nothing.
4. Sengketa Internasional Sipadan dan Ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpurpada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997, sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia.
Keputusan Mahkamah Internasional Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbanganeffectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Begitu pentingnya wilayah perbatasan ini, sehingga pemerintah menganggap perlu untukmembentuk lembaga nonkementrian khusus yang dinamakan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang kemudian dikukuhkan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang BNPP. Diharapkan lembaga ini dapat berfungsi sebagai ujung tombak dalam pengelolaan kawasan perbatasan bukan saja pemantauan terhadap batas wilayah.
Sumber:
http://blog.codingwear.com/bacaan-141-Contoh-Sengketa-Internasional.html
http://internasional.kompas.com/read/2012/04/11/02542066/ASEAN.dan.Sengketa.Laut.China.Selatan
http://www.jualbeliforum.com/pendidikan/215338-5-contoh-sengketa-internasional.html
http://www.anri.go.id/data/artikel_data/111d9f6c23f06a957135eb48ccfffb51.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar